10.12.2012

Dana Pembangunan Daerah Sia-sia









Urbanisasi sebenarnya bagian dari proses kita beradaptasi terhadap perubahan. Proses ini menjadikan banyak hal yang dahulu bersifat tradisional ke arah modern sehingga orang sering mereduksikannya sebagai perubahan sifat atau tempat dari suasana desa ke kota.


Perubahan ini pasti terjadi di setiap daerah,namun yang membedakan adalah sikap setiap daerah terhadap perubahan tersebut tidaklah sama. Perbedaan sikap ini yang nantinya memunculkan ketimpangan dari berbagai sektor. Salah satu ketimpangan yang paling terlihat adalah tata kelola suatu kota.

Kota yang dikatakan maju umumnya memiliki banyak gedung pencakar langit, sekolah, pusat perbelanjaan, fasilitas publik, dan jalan-jalan yang banyak dilalui kendaraan. Tapi di sisi lain, masih terdapat daerahdaerah kumuh yang tepat bersebelahan dengan pusat kota tersebut sehingga tata kota pun terlihat semrawut. Begitu pula dengan masih adanya kota yang minim gedung dan fasilitas publik. Tata kota yang masih buruk salah satunya disebabkan oleh tidak cakapnya pengelolaan dana untuk membangun daerah. Berdasarkan data Kementrian Keuangan, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang mengendap di bank pada akhir 2002 dan akhir 2009 masing-masing senilai Rp22,18 triliun dan Rp59,81 triliun.

Per akhir Desember 2011 nilainya semakin meroket menjadi Rp80,4 triliun dengan rincian Rp13,12 triliun di simpanan berjangka,Rp45,77 triliun di rekening giro,dan Rp919 miliar di tabungan. Dana yang tidak terserap itu umumnya belanja modal yang mayoritas untuk pembangunan infrastruktur.Padahal berbagai studi menunjukkan pembelanjaan di bidang infrastruktur memiliki korelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Berarti dengan tersia-siakannya anggaran di daerah sama saja terjadi opportunity lost pada penduduk di daerah yang sebenarnya sangat membutuhkan kemajuan.

Hal ini menunjukkan bahwa hak kita untuk menikmati pembangunan pun setiap tahunnya dibajak oleh pemerintah. Semestinya APBD ini dapat dicairkan untuk kesejahteraan rakyat, meningkatkan pelayanan publik, dan membangun kotakota yang masih tertinggal. Keadaan ini juga perlu ditopang dengan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni dengan harapan setiap kota dapat menyikapi urbanisasi dengan baik.●

NUR’AINI YUWANITA WAKAN
Mahasiswa S-1 Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Penerima Beasiswa PPSDMS Nurul Fikri







 Dimuat di Harian Seputar Indonesia edisi cetak, 12 Oktober 2012

Online link: Seputar Indonesia





SHARE:

10.08.2012

Menjadi SRIKANDI




SRIKANDI, sosok the ultimate model of independent womanhood dalam pewayangan jawa; sebagai simbol kekuatan dan keberanian. Srikandi dijadikan suri tauladan karena menjadi prajurit wanita yang berhasil mengalahkan Bisma dengan panah dahsyatnya, Hrusangkali. Itulah mengapa Srikandi menjadi inspirator bagi kami, peserta PPSDMS Regional 3 Yogyakarta Putri.

9 Juli 2012 menjadi hari pertama bagi saya menginjakkan kaki di BarbieDorm—julukan bagi asrama kami yang bercat merah jambu dan ungu. Kedatangan saya yang terlambat dibandingkan teman-teman lain membuat rasa takut itu hadir menjadi-jadi; ketakutan tidak bisa beradaptasi, tidak tahan dengan program-program yang diwajibkan, sampai takut  tidak memiliki sahabat. Semua ketakutan itu benar-benar ada.

Saya melangkah masuk sambil mengucap bismillah dalam hati. Saat itu, asrama sepi dan pintu memang tidak terkunci. Saya sejenak berhenti di balik pintu dan memperhatikan ruangan di dalam. Ada lima pintu kayu di bawah dan anak-anak tangga menuju lantai dua tempat kamar saya berada.

Saya menaiki anak-anak tangga itu. Semakin tinggi saya naik, semakin hilang rasa takut itu. Terlebih lagi, hati saya berkata ini bukan asrama, tapi rumah.

Ternyata benar. Banyak program yang wajib diikuti, seperti waktu berkah shubuh, apel pagi, deep introduction, family meeting, kajian pekanan, kajian bulanan, piket bersih-bersih sampai piket masak untuk sahur.

Banyak teman dan senior yang melontarkan candaan kepada saya ketika mereka tahu saya harus kembali ke asrama pukul tujuh malam, “Jam segitu mah banci baru mandi!”

Atau ketika mereka tahu ini adalah pendidikan dengan nilai islam yang kental, “Wah kalau main ke asramamu, aku harus pakai gamis ya?” “Yah kita engga bisa hang out sampe malem lagi dong, Nit.”

Mendadak, saya menjadi orang yang tidak peduli dengan hal-hal itu.

Secara sadar atau tidak, ada perasaan kuat yang saya dapatkan dari tiga puluh satu wanita yang hidup bersama saya di BarbieDorm: persaudaraan (ukhuwah).

Ketika saya sakit, mereka memberikan saya selimut, menemani berobat, bahkan membuatkan segelas teh hangat. Ketika saya tidur terlalu lelap, mereka membangunkan saya untuk ikut sembahyang berjamaah. Ketika ada yang berulang tahun, mereka menyiapkan surprise dan kue manis nan lezat.

Sungguh, saya berharap bisa melihat tiga puluh satu senyum yang sama dua tahun kemudian.

Saya berharap persaudaraan ini bisa terjaga dan mampu mengalahkan self-oriented yang  datang mencekam ketika terompet kompetisi ditiupkan.




Tiga puluh satu wanita itulah srikandi yang membuat saya ingin ikut menjadi srikandi. Mereka membawa panah-panah yang berbeda namun kami belajar bersama-sama untuk bisa melesatkan panah itu sedahsyat Hrusangkali. Bahkan lebih.

Bismillahirrahmanirrahim.
SHARE:
© Mettle in Perspective. All rights reserved.
Blogger Templates made by pipdig