6.10.2013

Yoso Peksi Buraq

5 Juni 2013 lalu, saya bersama si kuda putih main ke Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Saya mampir ke Masjid Gedhe Kauman yang berada di sebelah barat Kraton sembari menunggu waktu ashar.

Masjid ini cukup hidup. Di serambi masjid ada sekumpulan anak yang sedang belajar. Ada adik bayi yang belajar berjalan. Juga beberapa orang yang duduk santai menunggu adzan.





Beberapa tenda dan karpet pun terpasang di pelataran masjid.

Seorang tukang parkir menghampiri saya memberikan kartu parkir. Setelah ditelisik, tukang parkir mengatakan bahwa tidak lama lagi akan ada ritual Yoso Pesi Buraq dalam rangka memperingati hari besar islam Isra’ Miraj.

Benar saja, usai shalat ashar saya disuguhi sebuah prosesi budaya yang belum pernah saya lihat. Para abdi dalem membawa ubo rampe yang berisi buah-buahan yang telah dikirab dari keraton menuju masjid untuk didoakan. Ubo rampe diserahkan kepada kiai penghulu masjid untuk dibagikan kepada masyarakat yang hadir pada pengajian di malam sebelumnya.







Kliwon Ngadi Wiyadi, salah satu abdi dalem keraton mengungkapkan bahwa ritual ini diadakan setiap bulan rejeb kalender jawa Islam sejak puluhan tahun silam. Nama Yoso Peksi Buraq artinya membuat burung buraq. Buraq adalah kendaraan Muhammad pada saat Isra' (perjalanan dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di Yerusalem Palestina) dan saat Mi'raj (perjalanan dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha atau langit ke tujuh untuk memenuhi panggilan Allah)







Jika pada peristiwa Isra' Miraj, buraq merupakan kendaraan nabi tapi pada ritual ini, buraq justru memiliki kendaraan yaitu para abdi dalem yang membawanya memasuki masjid.

Nah, ubo rampe yang berisi buah tersebut menyimbolkan dua ekor burung sebagai buraq jantan dan betina yang bertengger di taman surga. Dibuat dari kulit jeruk bali yang diukir menyerupai burung jantan dan betina. Pembuat buraq ini haruslah puteri keraton yang sudah menikah.





Ubo rampe terdiri dari 8 macam buah-buahan tapi hanya 7 yang dihitung. Pisang raja spesial tidak masuk hitungan sebagai lambang Sultan  pengayom masyarakat dan kawulanya. 7 macam buah tersebut yaitu jeruk bali, salak, manggis, rambutan, apel malang, jeruk pontianak, dan sawo. Semua buah yang digunakan adalah buah lokal dan bebas formalin. Jumlah buah sebanyak 7 melambangkan tingkatan surga atau pertolongan.



Yoso Peksi Buraq, sebuah budaya keraton Yogyakarta yang berusaha mengingatkan kita, para kawula, tentang Isra' Miraj yang tidak mampu melampaui akal pikiran kita selain 'percaya' . Dan, ketika percaya semestinya tak ada lagi tanya. Karena (menurut saya) disitulah letaknya iman.

SHARE:

Apa kabar hati?


Tiga hari lalu, saya menemukan coklat chacha di dalam lemari pakaian. Ada sebuah surat  yang tertempel dan bertengger pada bagian topi chacha.
“Niwak (Nita Wakan), apa kabar hati hari ini?”

Sebuah pertanyaan yang bahkan belum pernah saya tanyakan pada entitas tertunjuk (hati). Si pengirim surat tampak lebih peduli dari si pemilik hati.

Apa kabar hati hari ini? Sebuah pertanyaan yang mulai saya tanyakan pada hati saya sejak tiga puluh enam jam yang lalu. Bagi saya, itu adalah sebuah pertanyaan yang lebih sulit dibanding pertanyaan tentang pajak yang ditangguhkan (indeferred tax)

Mengenali hati sendiri masih menjadi PR buat saya hingga hari ini dan membuat saya lebih suka jadi penyendiri. Orang-orang di sekitar pun sadar akan hal ini. Atau mereka yang terlalu peduli?

“Senyum Niwak yang hilang.”

“Jadi pendiam.”

“Nggak kedengeran lagi suaranya.”

Tentu bukan tanpa sebab. Entah fase apa yang sedang saya alami saat ini. Saya jadi suka berjalan sendirian, memotret, bercakap dengan tukang parkir, pedagang, anak-anak kecil yang sedang bermain sepak bola, dan manusia-manusia lain yang belum pernah saya kenal.

Mungkin ini adalah bagian dari pemberhentian sejenak pelbagai rutinitas dan sistem yang melekat.

Jadi, apa kabar hati hari ini?
SHARE:
© Mettle in Perspective. All rights reserved.
Blogger Templates made by pipdig