5.08.2013

Narasi Evaluasi

Dalam sebuah lingkaran sederhana, saya diminta untuk menceritakan tentang sebuah ‘evaluasi’ yang pernah saya alami.

Hanya dua kalimat yang saya sebutkan. Saya ditertawakan. Kesempatan untuk ‘bercerita tentang evaluasi’ pun dipindahkan ke mulut teman yang lain.

Apa ada yang salah dengan pendapat saya soal ‘evaluasi’? Sehingga saya harus minum obat dan merasionalkan pikiran saya seperti yang diceletukkan oleh salah satu teman yang mendengar? Atau karena nada bicara saya yang tidak serius?

“Bagi saya, evaluasi membuat kita mengetahui keberadaan kita.” (teman-teman tertawa)

“Evaluator bisa melihat sisi yang tidak kita lihat.” (teman-teman tertawa lagi)

Tawa mereka sama sekali tidak menghibur saya tapi mengevaluasi diri saya sampai ke dalam hati.
***

Bagi saya, evaluasi membuat kita mengetahui keberadaan kita.

Ketika mengucapkan kalimat itu, seorang teman berusaha menyempurnakannya (di tengah
derai tawa), “Maksudnya pencapaian?”

Bagi saya, evaluasi yang baik tidak hanya bicara soal pencapaian, soal apa yang telah kita peroleh. Kita tidak boleh hanya terlatih untuk mencapai a, mencapai b, mencapai c. Pencapaian yang dilihat manusia hanyalah suatu subjektivitas yang berhasil menemui ukuran. Tapi evaluasi semestinya menjadi salah satu alat yang mengantarkan kita pada kesadaran ‘di mana kita, untuk apa kita, kenapa kita; the existence of human.’.



Evaluator bisa melihat sisi yang tidak kita lihat.

Sebagian besar evaluator yang saya temui mampu melihat sisi yang tidak saya lihat, merasakan sisi yang tidak bisa saya rasakan, mencium sisi yang tidak bisa saya ciumi. Jika mereka tidak seperti itu, tak akan saya sebut mereka sebagai evaluator. Evaluator yang cakap akan mampu menunjukkan kesalahan saya yang selama ini tidak saya sadari. Membuka sudut pandang kita atas sebuah alternatif solusi yang sekali lagi mungkin tidak terpikirkan oleh kita.

Kelemahan evaluator adalah mereka tidak memiliki jaminan atas perubahan diri kita, karena hanya kita yang bisa mengubah diri kita sendiri.

Teman-teman, terima kasih telah tertawa. Kalian menyadarkan saya untuk menghargai orang yang sedang berbicara. Bukan mendengar dengan menatap layar laptop. Bukan juga dengan memperhatikan layar ponsel tapi dengan tertawa karena tertawa bisa menjadi evaluasi bagi pelontar kata.

____

Yogyakarta, usai menyambut anggota keluarga ke tiga puluh dua.
SHARE:

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Mettle in Perspective. All rights reserved.
Blogger Templates made by pipdig