1.01.2018

Hari Pertama


Dear Nak,
Ini hari pertama di tahun dua ribu delapan belas sekaligus menjadi pertanda hari pertama Ibu menulis cerita untukmu. Sudah 1 tahun 2 bulan 30 hari kami menantikan kehadiranmu. Ditambah tiga belas test pack bergaris satu yang terus membawa harapan bahwa akan ada hari dimana muncul garis yang kedua. Maka sebelum test pack keempat belas, Ibu ingin mengikuti intuisi yang sebenarnya telah lama datang, yaitu menuliskan kisah demi kisah untukmu. Supaya ketika datang masanya kamu lahir ke dunia Ayah dan Ibu, ketika datang masanya kamu mampu membaca huruf dan mengenali tanda baca, ketika datang masanya kamu berani untuk menerima dan memahami, kisah-kisah yang Ibu tuliskan ini semoga bisa menjadi teman baikmu di perjalanan.

Kisah pertama yang ingin Ibu ceritakan adalah tentang bagaimana Ibu bertemu Ayahmu. Kalau suatu kali kamu tanyakan pada Ayahmu, tentu ia akan punya versinya sendiri.


Saling Menemukan
Ibu ingat sekali, Jumat sore di bulan Desember 2015 usai membaca Al-Kahfi (salah satu surah favorit Ibu, Nak), sebuah chat di Line tiba-tiba datang dari seorang teman yang Ibu pun sebenarnya sangat jarang berkomunikasi dengannya. Namanya Akief, kita panggil Paman Akief ya Nak. Salah satu paman yang berjasa mempertemukan Ibu dan Ayahmu.

Paman Akief menyampaikan pesan bahwa Ayahmu ingin serius (menikah) dengan Ibu. Sontak Ibu kaget saat itu Nak karena seingat Ibu, Ibu belum pernah bertemu dengan Ayahmu secara langsung. Bagaimana bisa, seorang pria begitu yakin ingin menikahi seorang wanita yang belum pernah ia temui sama sekali, tanya Ibu dalam hati. 




Prediksi Ibu, Ayahmu mengenali keberadaan Ibu karena kami sama-sama mengikuti pertukaran pelajar ke Tohoku University, Sendai di Jepang. Ayahmu tiba di Sendai pada September 2013 dan kembali ke Surabaya pada Maret 2014. Sedangkan Ibu tiba di Sendai enam bulan setelahnya, pada musim gugur September 2014 dan kembali ke Jakarta pada Juli 2015. Kami masuk dalam satu grup social media yang sama yaitu Grup Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Sendai dan memang berteman di social media tapi Ibu yakin, kami belum pernah bertemu dan berkomunikasi.

Ibu benar-benar penasaran, apa mungkin ditempat lain Ibu pernah bertemu dengan Ayahmu? Ayah dan Ibu sebenarnya juga pernah mengikuti pelatihan yang sama, Young Leaders for Indonesia (YLI) McKinsey. Tapi di tahun yang berbeda, Ayahmu di tahun 2013 dan Ibu ditahun 2014. Kali itu keyakinan Ibu bertambah, kami memang belum pernah bertemu sebelumnya.

Apa ini jawaban atas doa Ibu?
Nak, suatu kali saat Ibu mengisi talkshow Ikatan Mahasiswa Akuntansi Universitas Gadjah Mada, di belakang stage sembari menunggu narasumber yang lain datang, moderator mengajak Ibu berbincang sejenak.

Mbak Nita, apa rencana Mbak Nita setelah lulus (kuliah) tahun depan?” tanyanya.
Menikah. Plan selanjutnya dibuat bersama suami.” jawab Ibu penuh percaya diri.

Saat itu sebenarnya Ibu belum punya nama calon suami. Pacar juga tidak ada karena Ibu sudah memutuskan untuk tidak lagi bermain-main soal perasaan.  Lebih tepatnya mungkin Ibu tipikal orang yang juga mencintai dalam diam.

Layaknya wanita pada umumnya Nak: Ibu pernah jatuh cinta, pernah patah hati. Juga pernah memendam rasa suka tapi tak pernah benar-benar Ibu usahakan selain berdoa dimintakan yang terbaik. Itulah bagian paling berat, Nak: ketika kita menyukai seseorang, ketika ada seseorang di tepi sana yang kita idam-idamkan tapi yang kita sebutkan dalam doa adalah “Datangkan yang terbaik, ya Allah.” Teringat pesan Kakekmu pada Ibu suatu hari, “Kita tidak perlu mendikte Allah, Kak. Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk kita.”

Menikah bukan untuk bahagia, nasihat Ust. Salim A Fillah. Lantas apa yang membuat Ibu mantap menikah?

Sebuah riwayat dari Anas bin Malik yang menggetarkan batin Ibu, “Nabi shallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ketika seorang hamba menikah, berarti dia telah menyempurnakan setengah agamanya. Maka bertakwalah kepada Allah pada setengah sisanya.”

Bagaimana jika Ibu dikatakan sudah cukup umur, fisik, dan semuanya untuk menikah kemudian Ibu meninggal dengan menyia-nyiakan kesempatan (tanpa berusaha sama sekali) untuk menyempurnakan setengah agama? Setengah ialah 50% Nak, separuh dari satu. Jumlah yang besar, jumlah yang menggenapkan.

Selain itu, betapa banyak ladang pahala yang bisa Ibu ambil jika sudah menikah. Jika senyum kepada Ayahmu menjadi ibadah, jika saling menatap karena cinta saja menjadi ibadah. Jika membuat sarapan pagi, mencuci piring, merapihkan tempat tidur, dan semua yang Ibu dan Ayahmu lakukan bersama menjadi ibadah. Maka mantap sekali Ibu saat itu: “Menyiapkan diri, menikah setelah lulus kuliah, untuk beribadah. Kalaupun belum ditakdirkan untuk menikah, paling tidak Ibu sudah berusaha.”  gumam Ibu dalam hati.

Memilih Jalan Taaruf

Apa ini jawaban atas doa Ibu? Keraguan pada Ayahmu saat itu ada Nak, ragu karena belum bertemu, ragu karena belum mengetahui karakter sebenarnya, ragu apakah Ibu mampu memasuki jenjang pernikahan sedini ini, dan banyak keraguan-keraguan lain tapi Ibu singkirkan itu karena Ibu sangat mengapresiasi dengan bagaimana cara Ayahmu mendekati Ibu. Di saat begitu mudahnya mengirim pesan melalui social media secara personal tapi Ayahmu lebih memilih melalui perantara. Bukan melalui chat personal di facebook, whatsapp dan sebagainya, juga bukan melalui say hi PDKT.

Dan pesan itu datang di hari yang baik, Jumat sore ba’da ashar di waktu yang mustajab, di saat tidaklah seorang hamba mukmin bertepatan dengannya lalu berdoa memohon sesuatu kepada Allah, melainkan akan dipenuhi permintaannya. Rasanya Ibu ingin menangis.

Maka Ibu balas pesan itu dengan kesiapan Ibu berproses dengan Ayahmu melalui Taaruf. Jalan yang Ibu pilih untuk menjaga kesucian proses ini. Jalan yang meminta penuh keyakinan kita pada Yang Maha Mengatur Segalanya. Hingga pada setiap hari sebelum dan sesudahnya Nak, keyakinan ini akan terus diuji.
Kita tidak boleh menyerah, Nak.




Utan Kayu, 1 Januari 2018.
SHARE:

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Mettle in Perspective. All rights reserved.
Blogger Templates made by pipdig