People
come, people go – they’ll drift in and out of your life, almost like characters
in a favorite book. When you finally close the cover, the characters have told
their story and you start up again with another book, complete with new
characters and adventures. Then you find yourself focusing on the new ones, not
the ones from the past.
Nicholas
Spark dalam The Rescue ada benarnya.
Akhir-akhir
ini begitu banyak orang yang hadir dan pergi begitu cepat. Bak membaca belasan novel
secara marathon di penghujung winter break. Orang-orang ini, yang
begitu membekas kehadirannya pun kepergiannya dalam hidup kita, mirip seperti
karakter favorit dalam novel favorit.
Dalam
kehidupan nyata, karakter favorit ini
bisa punya
nama lain: keluarga, sahabat, pasangan hidup, orang
yang kita kagumi diam-diam pun
orang asing yang menginspirasi.
Sahabat
(pertama kalinya),
menjadi karakter favorit yang ingin saya ceritakan kali ini.
Saya
tidak pernah membayangkan akan memiliki sahabat yang bahasa ibunya berbeda
dengan bahasa saya. Sahabat yang berasal dari tanah kelahiran yang berbeda
dengan saya. Sahabat yang terkejut
setelah mengetahui saya harus ibadah lima kali sehari dan harus bangun jam lima
pagi.
Inilah pertama kalinya, saya
menangisi kepergian seorang wanita muda China dan seorang wanita muda Vietnam
di bandara.
Kami bertemu dalam program
pertukaran pelajar di Jepang. Sayang, mereka hanya mengambil short program (enam bulan) sedang saya
mengambil waktu satu tahun. Artinya mereka meninggalkan Jepang dan kembali ke
negara asal lebih dulu. Menjadi pihak yang ditinggalkan, membuat saya jadi melo dramatic.
Saya rindu perhatian-perhatian
kecil mereka.
Seperti suatu sore saat salju
turun begitu lebat. Tidak ada bus dan taksi yang beroperasi. Kami harus pergi
ke farewell party dengan jalan kaki
melawan suhu udara yang begitu dingin. Summer, sahabat saya dari China, terus
membersihkan salju yang jatuh ke coat
saya. Tangannya dengan sigap membersihkan setumpuk salju yang jatuh ke tas, pundak
dan punggung saya sepanjang perjalanan menuju Sendai Eki.
Atau saat Hien, sahabat saya
dari Vietnam yang tidak pernah bosan mengingatkan saya untuk menandatangani Jasso Scholarship setiap awal bulan. Jika
lupa tanda tangan, saya tidak akan mendapat beasiswa pada bulan tersebut. “Nanti
kalau aku pulang (ke Vietnam), kamu enggak boleh lupa buat tanda tangan lagi ya.”
pesannya pada saya.
Juga saat kami melintasi
Aoba-dori dan saya mulai bercerita tentang rencana saya untuk memulai bisnis.
Mereka langsung menawarkan diri jadi investor dan bilang kalau mereka tidak
bercanda dan menunggu saya mengeksekusi rencana saya yang mereka anggap
menggiurkan.
Kini Summer sedang
melanjutkan studinya di Beijing, Hien di Hanoi, dan saya masih akan tinggal di
Sendai hingga bulan kedelapan tahun ini.
“Nita, please send me a message when you have time.” ucap Hien melalui
voice message.
“My dear, send email to me. It would be hard for me to use facebook in
China.” pinta Summer di group chat kami, Wonder Women.
Saya rindu saat-saat dimana
kami pergi ke Seiyu Supermarket
setiap Rabu siang usai Nihongo Class
kemudian masak bersama. Mereka akan jadi orang yang paling sibuk, cerewet, dan
teliti untuk memastikan bahwa bumbu dan makanan yang kami beli tidak mengandung
pork dan alkohol.
Sambil masak dan makan hot pot, takoyaki, sushi, tahu isi, nasi goreng, kami akan mulai membicarakan
rencana kehidupan kami setelah program exchange.
Summer akan menyelesaikan studi S1-nya dan langsung mengambil master di China. Ia mendapat beasiswa
penuh di salah satu universitas terbaik di Beijing. Hien masih harus
menyelesaikan empat semester kuliahnya dan berencana untuk melanjutkan studi di
UK bersama sang kekasih yang begitu setia.
Oh, every night they must meet at skype.
Saya? Saya bilang ke mereka
kalau usai lulus S1, saya berencana untuk menikah dan plan selanjutnya dirancang bersama suami nanti. Ekspresi mereka
kaget. “It’s too fast. You need more time
for your own career. Did you already find your right man? ”
Biarpun kami punya mindset
yang berbeda soal masa depan juga keyakinan yang berbeda, tapi selera lidah
kami sama: we like spicy food and sweet
cakes!
Selain itu, kami juga bersepakat
untuk saling mengunjungi pernikahan masing-masing.
“I will find a rich guy so he can buy tickets for you to come to our
wedding in China!!” seru Summer, anak pemilik tujuh puluh pohon cherry di
Beijing.
Kami tertawa.
Dalam hati, saya berdoa,
semoga kami bisa bertemu lagi.