3.12.2013

Sebuah Hibrida: Digitalisasi Pasar Tradisional




Pasca 1995, manusia mulai berteman akrab dengan perangkat digital. Ponsel canggih, kamera anti air, layar sentuh, komputer mini,dan perangkat sejenisnya yang membuat kehidupan manusia semakin termobilisasi. Mobilisasi yang semestinya memudahkan gerak manusia justru membuat manusia terjebak dalam paradoks kepadatan arus informasi. Mereka sibuk mengetikkan jari saat makan, berjalan, bahkan berkendara. Kebanyakan mereka tenggelam dalam kehidupan yang serba cepat dan praktis. Generasi ini, seperti yang disebut oleh Radar Panca Dahana, adalah generasi digital.

Generasi ini senang berkelindan dengan teknologi. Maka tak jarang entitas-entitas dengan sedikit atau ketiadaan unsur teknologi menjadi rapuh. Misalnya, tradisionalitas maupun lokalitas yang mulai tergerus oleh modernitas. Hal ini memunculkan para simpatisan yang sadar akan eksistensi tradisionalitas maupun lokalitas sebagai aset berkearifan, salah satunya ada pada pasar tradisional.

Pasar tradisional sebagai penggerak roda perekonomian negara, jaring penyelamat dan penyedia lapangan kerja bagi sebagian masyarakat, memiliki kapasitas kuat untuk bertahan pada situasi ekonomi makro yang tidak menentu. Adanya budaya tawar menawar, hubungan penjual dan pembeli yang terbentuk secara langsung dan indigenous semakin memperkaya pasar tradisional.

Dalam pasar tradisional, rakyat menjadi subjek dan objek yang utama sehingga sebagian kalangan menyebutnya sebagai pasar rakyat. Sebagian lagi dengan sengaja meninggalkan kata tradisional karena identik dengan kumuh, becek ataupun semrawut.

Baik pasar rakyat maupun pasar tradisional perlu mengambil langkah untuk menghadapi era digital. Generasi digital mungkin saja mengusung konsep baru: Pasar Digital. Bukan tidak mungkin ketika Pasar Gede di Solo mulai memasang papan elektronik informasi harga. Papan yang mencantumkan tujuh belas harga makanan ini dipasang di pintu masuk agar tidak terjadi kesimpangsiuran harga antara pedagang dan pembeli.

Generasi digital agaknya perlu hati-hati dalam usaha mendekatkan teknologi dengan pasar tradisional. Papan elektronik ini bisa jadi malah meredupkan budaya tawar menawar yang secara tidak langsung merusak karakter pasar tradisional. Lagi-lagi, generasi digital dengan semangat perbaikan masih berada pada situasi yang sulit. Pasar digital, sebuah hibridisasi pasar tradisional dan digital, mungkinkah memiliki eksistensi?

*artikel singkat ini menjadi bagian dari Buku Sekolah Pasar yang disusun oleh Sekolah Pasar, Pusat Studi Ilmu Ekonomi Kerakyatan UGM
SHARE:

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Mettle in Perspective. All rights reserved.
Blogger Templates made by pipdig