8.01.2013

Merasa Bahagia

Kalau Nita kapan merasa paling bahagia?

Satu pertanyaan dari sekitar tujuh pertanyaan yang ia lontarkan kepada saya saat kami menunggu pintu studio 2 terbuka. Ia, teman dekat kakak sepupu saya, menimpali saya sebuah pertanyaan tentang kebahagiaan ketika kami mulai membahas isu tren kaum metropolis: passion.

Butuh jeda lima belas detik untuk bisa menjawab pertanyaannya. Jawaban pun sudah ada di hati dan di kepala.  Jawaban yang bakal buat mata saya berair.





Selama dua puluh tahun lebih tujuh bulan saya hidup, saya merasa paling bahagia sewaktu mendapat kabar adik saya lulus Ujian Nasional dan mendapati dirinya lebih baik. Mungkin kedengarannya ini adalah hal yang biasa bagi seorang kakak. Tapi tidak buat saya.

Waktu itu adik saya kelas enam SD dan saya kelas tiga SMA. Adik saya dikenal bandel bahkan sempat akan
di drop out dari sekolah karena berkelahi dengan teman sekelasnya. Digit angka tiga, empat, dan lima bertebaran di atas kertas ujiannya. Kedua orang tua saya pun tidak banyak berharap adik saya bisa masuk ke SMP favorit. Lulus ujian nasional saja sudah syukur.

Sebagai seorang kakak yang keras kepala, saya ingin adik saya meninggalkan SD-nya dengan terhormat. Saya ingin membantunya keluar dari lingkaran penilaian bodoh orang-orang dewasa. Saya ingin memerdekakannya.

Kebetulan saat itu saya sudah selesai dengan segala bentuk ujian, seperti UTS, UAS, UN dan SNMPTN tertulis. Awalnya saya sudah mengagendakan untuk jadi pengajar TPA di musala dekat rumah sebagai nazar saya lulus UN. Akan tetapi, mendapati keadaan adik saya terkurung dalam penjara perspektif ketidakmampuan, membuat saya merasa jadi kakak paling tidak berguna di dunia ini.

Saya menahan nazar saya jadi pengajar TPA untuk sementara waktu. Saya ingin fokus mengajarkan adik saya sendiri sebelum mengajarkan adik-adik yang lain.

Selama ini saya berpikir bahwa segala prestasi dan pencapaian yang saya dapat akan bisa memberinya inspirasi. Saya berharap ia akan tergerak untuk melakukan lebih dari apa yang telah saya lakukan. Saya rasa setiap kakak ingin adiknya lebih baik dari dirinya. Begitupun saya.

Tapi kesibukan saya dengan pencapaian-pencapaian saya, membuat semakin banyak orang yang membeda-bedakan kami. Mem-bully mentalnya secara halus.

“Kamu beda ya sama kakakmu.”

“Contoh kakakmu, jangan seperti itu!”

Ia, adik saya satu-satunya, tidak pernah sekalipun membenci saya. Setiap ulang tahun, ia yang masih berusia di bawah sepuluh tahun selalu memberikan saya kado. Kata ibu, ia menyisihkan uang jajannya dan pergi ke toko kado Cindy. Bola kristal berisi seorang wanita dan laki-laki yang sedang duduk bercengkrama, pajangan kaca berisi air penunggu waktu, pajangan pemain cello adalah sebagian kecil hadiah-hadiah yang ia berikan pada saya.

Di akhir pekan, kami berdua suka keliling komplek dengan motor Ayah dan berhenti di supermarket membeli dua potong es krim. Tawa dan mata jernihnya membuat saya sering mencium pipi dan membelai kepalanya di dekat lemari es krim.

Ia bahkan memuji saya di depan teman-temannya. Pernah suatu kali saat beberapa temannya main ke rumah kami, ia bilang kepada teman-temannya sembari bermain games di komputer, “Kakakku hebat banget! Dia bisa sampe finish, ngalahin raja!” ujarnya berapi-api.

Ia, adik laki-laki saya satu-satunya, menyayangi kakaknya tanpa pilihan.




Sedang saya, kakak perempuannya satu-satunya, belum bisa memberinya banyak pilihan.

Selama dua minggu menjelang Ujian Nasional yang akan ia hadapi, saya membangunkannya pagi-pagi. Satu buah buku Rangkuman Pengetahuan Alam (RPAL) dan satu buku berisi soal-soal ujian latihan harus ia pahami dengan segera. Waktu kami tidak banyak.

Ruang tamu menjadi ruang kelas sederhana kami. Tidak ada papan tulis. Hanya ada kertas putih kosong di atas meja sebagai gantinya. Kami membuat jadwal belajar dan waktu istirahat. Ia paling semangat ketika saya menjelaskan tentang proses konveksi pada proses pemanasan air.

Saya mengajaknya pergi ke dapur dan kami memanaskan air di dalam panci. Saya katakan padanya, bahwa gelembung yang bergerak dari bawah ke atas menyampaikan pesan bahwa adanya perbedaan suhu di dalam air.

Saya menggambarkan prosesnya di atas kertas. Kemudian saya meminta ia menjelaskan dengan bahasanya sendiri. Ia pun ikut meminta kertas dan menggambar prosesnya. Benar. Anak-anak adalah peniru yang baik.

Semakin hari saya sadar bahwa adik saya sebenarnya mampu. Dan itulah yang saya katakan padanya setiap pagi, setiap kami memulai belajar.

“Kakak yakin Ais bisa.” saya cium pipinya dan belai rambutnya.

Seandainya lebih awal saja, saya duduk berdampingan seperti ini bersama adik saya. Membahas organ dalam tubuh burung, belajar deret hitung, membuat prosa, dan sebagainya, mungkin tak akan ada orang yang memandang sebelah mata adik saya.

Tapi menyesal adalah perkara yang sia-sia jika tidak dibarengi dengan kesadaran untuk berubah.

Berkat ridha Allah SWT, adik saya berhasil menjadi salah satu dari lima besar peraih nilai UN tertinggi di SD-nya. Berbekal nilainya itu, ia berhasil masuk SMP Negeri 12 Bekasi, salah satu SMP favorit di Bekasi Timur. Sekarang, setiap semester ia jadi juara kelas.

Perjalanannya masih sangat panjang. Saya ingin menjadi kakak yang melindunginya dan memastikan bahwa ia baik-baik saja. Saya percaya ia akan tumbuh dewasa dengan caranya dan melakukan apa yang ia cintai.

Satu kekuatan yang saya temukan  dan akan saya jaga adalah kepercayaan seorang kakak kepada adiknya. Kepercayaan adalah kekuatan kosmik yang besar yang mampu menggerakkan hati-hati manusia. Dan terlahir sebagai seorang kakak, adalah sebuah amanah yang harus dipelihara.

Darinya, saya belajar bahwa sejatinya tidak ada anak yang bodoh di dunia ini.

Darinya, saya belajar bagaimana memperlakukan seorang anak manusia.

Darinya, saya belajar untuk mempersiapkan diri menjadi seorang guru, seorang ibu.

Terima kasih, Ais.

Tertanda,

Kakak paling bahagia di dunia.
SHARE:

9 komentar

  1. kerenn... adekku juga malesnya subhanallah belajar, hmmm.... okee, brati aq belum baik jd kakak... smoga bs lebih baik dehh :)

    BalasHapus
  2. Aamiin allahumma aamiin, coba disodorin kisah2 sukses lwt komik, gmaes, atau film, Mer. Salam untuk adiknya Merin ya. :)

    BalasHapus
  3. Makasih Priska, semoga bermanfaat ya. :')

    BalasHapus
  4. waa.. nita.. betapa beruntung memiliki kakak yang baik hati sepertimu.. :) | Menjadi seorang adik memang biasanya sering dibandingkan dengan kakaknya #pengalaman hehe :)

    *nice :)

    BalasHapus
  5. Wah nit kapan2 bisa mbimbing adek ane neh wehehe..boleh2..gimana kabar?

    BalasHapus
  6. subhanAllah :") tulisan Mbak Nita bikin saya mbrambangi mbak :"""
    saya juga punya adek cowok, selisih kami 8,5 tahun. kita juga suka jalan2 berdua naik motor, sederhana, cuma keliling desa atau mbolang ke kampung2 sebelah. kita jg sering beli 2 potong eskrim, bukan dibawa pulang lalu dimakan dirumah, tapi kita makan di suatu tempat, berdua saja sambil berbagi cerita. dia seorang adik yang sangat apresiatif, waktu itu usianya belum genap 10 tahun, dia kelas 3 SD, setiap ada PR yang susah dia nunggu saya pulang dari kampus. baru sampai rumah jam 9 malem & itupun masih mandi dulu, dia tetep nungguin saya buat ngajarin dia. dan UTS semester 2 kemarin, dia full saya temenin belajar, alhamdulillah nilai UTS hampir semuanya diatas 90. dia seneng banget, dan udah pesen minta ditemenin belajar lagi buat ujian semester 2. saya seneng banget waktu itu.
    dia anaknya subhanAllah, dan baru saya sadari sekarang. kalo di dalem keluarga, ya tentu saja kayak anak bungsu lainnya, bandeeel, banget. tapi di lingkungan rumah maupun sekolah, dia dikenal sbg anak yg 'ngemong'(ngayomi) , 'temuwo'(dewasa), dan supel. Ga keliatan kalo dia ini anak bungsu. dia deket banget sama saya, deket banget sama kakak saya, apalagi sama bapak ibu. pokoknya keberadaan dia itu bener2 bikin keadaan rumah berwarna.
    saking gemesinnya dia selalu jadi bahan uyel2an saya mbak. saya peluk2 sampe dia berontak juga ga saya lepas hihihi.
    tapi sekarang saya cuma bisa peluk dia lewat doa, mbak. iya, dia meninggal 3 bulan lalu, sebelum dia ujian semester 2. sangat ga terduga & kejadian yang sangat sangat asing buat saya mbak. saya ngerti bahwa semua orang pasti bakal meninggal, bahwa berita lelayu di kampung juga saya ngerti pasti ada orang yang ditinggalin, tapi saya nggak pernah berpikir ini bakal terjadi sama saya hiks :""
    duh ini kok malah curcol beginiii. hiks, intinya tulisan mbak ini bikin saya terharu & semakin merindukan Falakh. mohon doanya ya mbak, moga2 kami sekeluarga diizinkan buat bertemu dan berkumpul lagi di tempat terbaikNya nanti, aamiin.
    buat mbak & temen2 yg masih punya adek, kasih contoh yg baik, & jadilah tempat yg selalu antusias mendengar cerita2 nya. cintai, cium, peluk, potong kukunya tiap senin, anter dia ke sekolah, jemput dia ngaji. Apresiasi sekecil apapun pencapaian dia, apresiasi saat dia ngelakuin hal yg bener. Sayangi dia, karena dari seorang adek, kita bisa bener2 belajar menyayangi dengan tulus, menempatkan ego kita -yg-juga-pernah-jadi-anak-bungsu-sebelum-dia-ada- jauh2, jadi kakak yg selalu dia banggain, pokoknya jadi kakak terbaik. buat dia.
    buat mbak nita, maaf menuh2in kolom komentar, & terimakasiiiiiih :")

    BalasHapus
  7. Itulah kebahagiaan bersama...
    Yang pasti berkat doa kakaknya nih adiknya bisa lulus. hehe.

    BalasHapus
  8. subhanallah. sangat menginspirasi. terima kasih, ukhti.

    BalasHapus

© Mettle in Perspective. All rights reserved.
Blogger Templates made by pipdig